Masa reformasi bisa dibilang sebagai masa-masa yang menjadi titik balik dari banyak hal fundamental di Indonesia, yang juga senada dengan definisi dari kata reformasi itu sendiri yang berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama dalam suatu masyarakat atau Negara)[1].
Bila dikaji secara politik, reformasi adalah hasil dari proses ketika skala keseimbangan kekuasaan telah rusak atau sudah sangat tidak seimbang, seperti merampas hak-hak masyarakat umum, penguncian dan pembatasan media, dan lainnya. Bisa juga dibilang bahwa reformasi terjadi karena rezim keditaktoran sudah tidak sanggup menekan dari oposisi.
Tentu kita mengetahui, bahwa salah satu “mesin” dari oposisi yang melawan tegas rezim keditaktoran pada masa orde baru adalah: Mahasiswa.
Ya, para agen perubahan yang berperan sebagai pengawas pemerintahan sekaligus juga corong suara dari masyarakat, dengan ide-ide dan gagasannya, mahasiswa juga menjadi salah satu faktor penting dalam proses “penggulingan” Soeharto pada medio ’98 silam.
Tapi sebetulnya bagaimana proses itu terjadi? Apa saja yang mahasiswa sudah lakukan sebelum masa orde baru? Dan bagaimana dengan peran mahasiswa dijaman era post-orde baru ini?
Mulai dari zaman perjuangan sampai masa kemerdekaan, para kaum muda terpelajar terus menjadi salah satu peran sentral yang setia untuk berkontribusi menyumbang ide-ide yang visioner dan aksi-aksi untuk kemajuan bangsa.
Sejak tahun 1945 sampai masa demokrasi liberal (1950–1959) juga, mahasiswa mulai bergerak sebagai aliansi atau organisasi yang beersatu atas kesamaan visi dan misi, dan ada juga yang menjadi representatif dari golongan-golongan tertentu, seperti Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan sebagainya.
Akan tetapi, salah satu sepak terjang intelektual muda yang fenomenal adalah pada masa Gerakan Mahasiswa tahun 1966 dimana mahasiswa ikut berkontribusi dalam keberhasilan menurunkan pemerintahan Ir. Soekarno dan perpindahan wewenang pada Soeharto yang disertai dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret. Pada masa konflik PKI, mahasiswa juga menuntut TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi 3 poin, yaitu membubarkan PKI, Retool kabinet dwikora, dan perbaikan ekonomi.
Selama bertahun-tahun, mahasiswa belajar, berorganisasi, dan melihat realita di sekelilingnya. Mereka saling bertukar pikiran juga melakukan aksi-aksi yang progresif terhadap bentuk ideal negara.
Pada saat memasuki Rezim Orde Baru, Pemerintah sedikit demi sedikit mengekang kebebasan masyarakat, termasuk mahasiswa untuk terus belajar dan bergerak. Hal ini terus menjadi proses yang menyiksa sampai akhirnya mencapai klimaks di tahun 1998, saat-saat jatuhnya rezim Orde Baru yang dinahkodai oleh Soeharto selama 32 tahun[2]
Masa 1980–1998 adalah periode kelam dan dipenuhi rezim tiran, kalangan akademis, budayawan, dan komponen-komponen masyarakat lainnya termasuk mahasiswa mulai merencanakan gabungan kekuatan yang menjadi tombak untuk melawan tindakan represif dari pemerintah Soeharto.
Dari kesadaran tersebut, akhirnya, melahirkan gerakan reformasi yang diinisiasi oleh mahasiswa. Kesadaran untuk memberontak pada Sayap Kanan akhirnya mulai muncul, mahasiswa dan segenap komponen masyarakat berusaha untuk membebaskan diri dari sang diktator.
Puncak dari pergerakan tersebut adalah Mei 1998 dimana terjadi pemberontakan berdarah antara pemerintah dengan massa, dimana salah satu tragedi yang paling banyak dikenang masyarakat adalah Tragedi Trisakti, empat orang intelektual muda tewas diterjang timah panas demi perubahan konstelasi politik Indonesia.
Pembunuhan tersebut dinilai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat berat dan sukses menambah catatan hitam rezim Soeharto. Yang pada akhirnya mengantarkan dirinya kepada kejatuhannya. Mahasiswa menang, rakyat menang.
Belasan tahun kemudian, jelas bahwa kejatuhan Soeharto membuat diskontinuitas sejarah politik dengan dramatis. Sistem politik Indonesia berubah. Negara kembali meniti jalannya secara demokratis — hal ini membuktikan bahwa Mahasiswa mampu merubah tatanan sosial dengan memihak pada kebenaran untuk perubahan yang lebih baik.
Namun hingga saat ini, bisa dibilang belum ada progres yang monumental lagi dari mahasiswa, malah, ada kecenderungan untuk kembali menjadi individualistis dan apatis juga karena dampak dari globalisasi. Walaupun demikian, gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti, sebelum perubahan masyarakat seperti yang dicita-citakan terwujud.
—
[1] kbbi.web.id/reformasi