Asian Law Students’ Association (ALSA) Indonesia: Status Quo dan Potensinya Yang Belum Teroptimalkan
All views are my own. Apa yang saya tulis dalam entri otokritik ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan siapapun.
Note: Bagian kedua atau kelanjutan entri ini bisa diakses disini
Salam.
Asian Law Students’ Association (ALSA) adalah Organisasi Mahasiswa (“Ormawa”) skala internasional yang berdiri sejak 1989. Terdengar keren bukan? di masa kalian menjadi Mahasiswa, kalian bisa berinteraksi dengan member ALSA dengan 14 Universitas di Indonesia dan 16 Negara di benua Asia.
Di entri ini, saya ingin berceloteh bahwa Asosiasi yang sudah berumur ini–masih bisa lebih optimal dalam menjalankan marwahnya sebagai Asosiasi Mahasiswa berbasis ilmu hukum.
1. ALSA berdiri sudah lama, tapi ‘tua’ bukan berarti ‘dewasa’
“Age does not define maturity”. Seseorang bisa saja masih muda, namun apabila sudah punya pengalaman dan telah merasakan asam garam yang banyak, maka kemungkinan besar ia lebih cepat dewasa. Pun sebaliknya, bisa saja ada yang sudah tua namun tidak mau berkembang, selalu berada di zona nyaman, maka kemungkinan besar orang tersebut belum dewasa. Kita bisa tarik persamaan sederhana tersebut kedalam ranah Ormawa.
Belum Punya Blueprint Jangka Panjang
Sebagai Ormawa yang sudah berdiri lama, lintas kota dan negara, sudah sewajarnya punya perencanaan jangka menengah maupun panjang bukan? sayangnya, ALSA Indonesia belum punya itu. Tidak ada ultimate end goal yang ingin diraih. Sampai saat ini, target ALSA hanya dipatok oleh Presiden terpilih sehingga tidak ada yang namanya pembangunan berkesinambungan. Setiap tahun, ALSA punya targetnya sendiri-sendiri tergantung Presidennya ingin meningkatkan dalam bidang apa.
Sebagai contoh Kepengurusan 2018 memprioritaskan peningkatan di bidang Eksternal, sementara kepengurusan 2017 memprioritaskan peningkatan di bidang Akademik. Lantas, tidak ada output yang bisa dinikmati secara optimal dalam jangka panjang — karena fokus berpindah-pindah setiap tahun. Serta tidak semua pencapaian baik yang dicapai tahun sebelumnya dapat dilanjutkan atau cocok dengan visi di tahun kepengurusan selanjutnya.
Model Kepengurusan Yang Masih Sangat Sederhana
ALSA Indonesia memiliki 14 cabang Universitas (“Local Chapter”), dengan total anggota lebih dari 3500. Pengurus Nasionalnya (“National Board”) ada berapa? hanya ada 9.
Setiap tahunnya, National Board terpilih yang jumlahnya sudah sedikit ini sudah berusaha bekerja seoptimal mungkin, sampai-sampai borderline sacrificing kehidupan akademis mereka sendiri untuk menjalankan roda organisasi yang begitu besar. Tapi, jumlah yang sedikit tentu membatasi kualitas dan kuantitas performa mereka dalam memajukan ALSA Indonesia.
Kekurangan ini akan lebih mudah tergambarkan dengan membandingkan Stuktur Kepengurusan di Ormawa lainnya, dalam hal ini saya menarik perbandingan dengan Center for Indonesian Medical Students’ Activity (CIMSA), yang berbasis di Fakultas Kedokteran.
Bisa dilihat dengan jelas, bagaimana CIMSA (yang diresmikan tahun 2002) punya struktur kepengurusan yang jauh lebih spesifik dan konkrit, diiringi dengan jumlah mumpuni, sehingga mampu mengeksekusi workload yang banyak. Di luar bagan ini, ada pula tim-tim khusus yang merupakan member dari Local yang dibentuk dan berada dibawah jabatan National Officialnya masing-masing.
Sementara di ALSA, nomenklatur jabatannya masihlah sangat-sangat sederhana, sehingga satu jabatan di ALSA punya tuntutan pekerjaan yang banyak dan luas — he or she must be able to work everything out, dan tidak ada tim-tim khusus yang membantu seperti di CIMSA. Dengan tugas pokok dan fungsi yang demikian banyaknya, membuat tanggungjawab yang harus diemban menjadi sangat-sangat berat, dan berdasarkan pengalaman pribadi, hampir tidak masuk di akal untuk seorang Mahasiswa. Dengan demikian, workload dan potensi yang banyak ini tidak dapat diproses secara rapi karena keterbatasan, sehingga seringkali menghasilkan outcome yang tidak optimal. Fenomena ini sering disebut bottlenecking.
Berkaca dari usia dan skala yang dimiliki, layaknya perusahaan, sudah seharusnya struktur kepengurusan National Board dikembangkan. Nomenklatur jabatan dimodifikasi dan workforce pun ditambah, tentu menambah kuantitas tidak berarti otomatis menambah kualitas, maka perlu juga untuk memperhatikan kaidah-kaidah efisiensi jabatannya. Dengan demikian, diharapkan ALSA Indonesia nantinya bisa meningkatkan goals yang ingin dicapai dan yang mungkin belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Kebutuhan Pengeluaran (Modal) Yang Fantastis
Silakan baca Laporan Pertanggungjawaban transparansi pengeluaran National Board di sebelah kiri.
Menurut saya, ini adalah expense yang — lagi-lagi tidak masuk akal. Tidak ada Mahasiswa yang seharusnya mengeluarkan dana pribadi sebanyak ini apalagi untuk Ormawa, this is borderline criminal. Tambah lagi, nominal yang ada di tabel ini belum termasuk pengeluaran printilan lainnya yang juga tidak sedikit. Ini juga menjadi faktor karena ALSA Indonesia yang sangat besar hanya diurus oleh pengurus berjumlah 1 digit.
Mari kita ilustrasikan, uang 30 Juta rupiah seharusnya sudah bisa membiayai (beberapa braket UKT) seorang Mahasiswa dari Maba hingga lulus. Sayangnya, ini adalah statistik yang normal dan telah berlangsung selama bertahun-tahun di ALSA Indonesia, saking normalnya, angka yang fantastis ini seolah-olah menjadi hal yang “wajar”. Tentu jabatan yang dibayar mahal ini menjadi discouragement yang sangat nyata untuk member-member ALSA yang berkeinginan menyalonkan diri, sehingga membatasi akses individu-individu berkualitas yang berkeinginan menjadi National Board.
Modal yang tinggi ini tidak hanya dirasakan di National Board saja, sebagai pengurus di Local Chapter pun, harus siap sedia untuk merogoh dana yang lumayan tinggi, contohnya membeli merchandise atau kaos panitia, jajanan dana usaha, donasi program kerja, mengikuti acara nasional, dan lain-lain. Apabila pengeluaran tersebut dikalkulasi dan diakumulasi selama satu tahun kepengurusan, sangat wajar apabila teman-teman pengurus di Local Chapter juga merasakan pengeluaran yang relatif banyak.
Sistem Monitoring & Evaluasi Yang Kurang Efisien
Faktor yang juga mengakibatkan mahalnya modal jadi National Board adalah sistem monitoring internal yang tidak efisien. Hal ini berimplikasi karena sistem penilaian performa National Board–terutama di pos tertentu sangat mengutamakan faktor mingle-mingle atau blusukan mengunjungi Local Chapter, menomorduakan substansi nyata tanpa paham data. Proses penilaian keruh dengan kadar politik juga gengsi yang tinggi — ditambah jumlah pengurus yang sangat sedikit, melengkapi beratnya jalan National Board untuk melakukan monitoring dan evaluasi yang optimal.
Hal tersebut dapat ditemukan juga di dalam cara ALSA Indonesia berforum atau dalam bermusyawarah baik di level lokal maupun nasional. Sidang berhari-hari (beberapa bahkan sampai 1 -2 minggu) namun output yang dihasilkan relatif sangat sedikit dibandingkan dengan waktu yang sudah terpakai. Setelah mengikuti Musyawarah Lokal berkali-kali, saya paham kalau permasalahan yang dibahas mayoritas itu-itu saja, berputar-putar dalam lingkaran setan, tanpa akhir. Terus begitu selama bertahun-tahun. Pembahasan untuk gebrakan visioner atau tantangan yang sebetulnya urgent untuk dimusyawarahkan malah cenderung tidak tersentuh.
2. ALSA Indonesia belum memiliki target untuk menjadi edukator dan fasilitator masyarakat
Memang ALSA adalah Ormawa berbentuk sebagai Asosiasi, yang berarti akan lebih memfokuskan diri pada kesejahteraan anggotanya. Menurut saya hal tersebut sudah bertahun-tahun dijadikan fokus. Namun, saya juga percaya bahwa sebaik-baiknya Ormawa adalah Ormawa yang bisa bermanfaat untuk masyarakat. Mahasiswa adalah bibit-bibit terbaik negeri yang seharusnya membagikan apa yang mereka sudah dapatkan kepada khalayak umum.
Karena kalau berbicara tentang pengembangan anggota, semua Ormawa juga menawarkan hal yang serupa, mau BEM, UKM Kesenian, Penulisan, Olahraga, you name it. Tidak ada Ormawa yang tidak menawarkan penajaman soft skill & teamwork, itu semua pasti diberikan. ALSA sendiri sudah menjadi fasilitator yang luar biasa komplit untuk Anggotanya, mulai dari hal-hal akademis sampai teknis, namun saya juga yakin ALSA bisa menawarkan value yang lebih dari itu.
Sebagai Ormawa bernama “Asian Law Students’Association”, program berbasis Hukumnya masih belum komprehensif
Apabila dikaji lebih lanjut, persentase program kerja beberapa ALSA Local Chapter yang memiliki value hukum masih relatif sedikit dibandingkan dengan program kerja lainnya. Mayoritas program kerja ALSA Local Chapter maupun National Chapter pun hanya ditujukan kepada member ALSA itu sendiri atau setidak-tidaknya untuk Mahasiswa Hukum. Program kerja yang ditujukan untuk kebermanfaatan masyarakat luas–yang berkaitan dengan hukum, masih sedikit.
Saya tidak hanya berbicara tentang 1–2 Program Kerja yang ditujukan untuk masyarakat layaknya ALSA Care & Legal Coaching Clinic, namun berbicara tentang tujuan dan kebermanfaatan Ormawa ini secara umum. Dengan arah pengembangan ALSA yang selalu menawarkan keuntungan internal, sangat wajar apabila orang-orang yang mengenal ALSA dari luar memiliki pandangan bahwa ALSA adalah ormawa yang ‘eksklusif’.
Acara nasional ALSA Indonesia pun masih terlalu berorientasi pada member. Di setiap Seminar atau Workshop, belum ada kesadaran untuk turut memprioritaskan atau menggandeng instansi terkait, (contohnya LSM, pemerintah, komunitas, target demografis penduduk)padahal sebetulnya pihak lain ini tentu bisa lebih bisa menggalvanisaskan dan melakukan aksi nyata sebagai output dari materi yang diberikan, bukan?
Sebagai contoh lainnya, European Law Students’ Association (ELSA) memiliki grup riset hukumnya sendiri dan menelurkan laporan-laporan yang bekerjasama dengan regulator maupun LSM yang dapat mereka jadikan tolak ukur riset akademik, membuat dampak yang besar untuk mempengaruhi decision maker di daerah masing-masing.
Padahal, dengan eksistensi ALSA yang tersebar di berbagai daerah, ribuan anggota, berdiri sejak lama, dan sudah memberikan jaminan keuntungan internal atau member development yang sangat memadai, entah mengapa yang selalu dipertanyakan tiap tahun adalah hal yang sama: “Kenapa Internal ALSA Indonesia masih kurang?”
Seharusnya dengan kelebihan yang besar ini — tentu tanpa melupakan internalnya, we have to dare to dream bigger: apa yang sebenarnya bisa ALSA Indonesia kontribusikan kepada Indonesia itu sendiri?
Buat apa ALSA Indonesia Berkontribusi Untuk Indonesia?
Dengan populasi 260+ juta orang, masih terlalu banyak masyarakat Indonesia yang buta hukum. Yang tidak paham kenapa mereka ditilang, yang tidak mengerti proses jalur hukum yang berlaku, yang memilih adu jotos ketimbang lapor polisi, yang tertipu modus-modus dan kontrak bodong…
Tidak terhitung kerugian yang melanda Indonesia akibat literasi hukum masyarakat sangat rendah. Memang, terdapat adagium presumptio iures de iure (Semua orang dianggap tahu hukum) dan ignorantia jurist non excusat (Ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan) tapi bagaimana dengan realitanya? hal tersebut tidak semata-mata teraplikasikan, masyarakat yang juga subjek hukum tetap harus dituntun dan diedukasi agar paham.
Di sisi lain, regulator dan penegak hukum juga perlu check and balance, perlu kita kawal kinerjanya. Perlu dibantu untuk sama-sama memecahkan masalah-masalah yang timbul di masyarakat.
Mahasiswa adalah corong rakyat.
Berkaca dari masalah diatas, bukankah that should be our calling sebagai Mahasiswa Hukum? lebih lagi, bukankah ALSA Indonesia adalah platform yang sempurna — yang mupuni secara kuantitas dan kualitas, untuk menjadi mesin perubahan yang dapat mencerahkan dan langsung membantu rakyat?
ALSA has become and is continually improving as a premier association…to develop as future leaders and major players of Asia…to promote an awareness of justice
Di atas adalah potongan dari Policy Statement ALSA Internasional, “to develop as future leaders and major players of Asia”. Visi besar kedua ALSA berbunyi: “To promote an awareness of justice.”
Sudahkah kita berusaha untuk merealisasikan kalimat ini?
Menapak masa lalu untuk menyongsong masa depan
Sewaktu ALSA masih berbentuk ASEAN Law Students’ Association (pre-2002), ALSA memiliki tugas untuk menjadi lembaga thinktank mahasiswa yang membantu memecahkan isu hukum yang berkembang di masyarakat. Output yang berbentuk rekomendasi maupun policy brief yang dihasilkan dari Seminar & Workshop diberikan ke instansi terkait (termasuk ASEAN sendiri dan ALA, ASEAN Law Association), pada saat itu, memberikan output konkrit adalah kewajiban dan komitmen Mahasiswa ALSA untuk bisa berkontribusi pada Indonesia dan ASEAN.
ALSA Indonesia sudah pernah berorientasi untuk menjadi solusi dari masalah hukum di Indonesia, hal tersebut juga sangat mungkin dilaksanakan di level Lokal. Jadi, sebetulnya pengabdian untuk masyarakat yang sedang dibahas ini sudah dilakukan sebelumnya, it was the backbone and embedded in ALSA itself.
We have the power to reach people, we are able make Indonesia a better place, we can accomplish our ultimate raison d’etre. We’ve done it before.
Where are we now?
3. We Fear What We Don’t Understand
Setiap kali saya berdiskusi dengan member ALSA tentang bagaimana seharusnya ALSA di masa depan, sedikit orang yang percaya bahwa ALSA dapat berubah menjadi lebih baik atau harus berubah.
“Tapi kan kita cuma Mahasiswa, kita ga bisa ngapa-ngapain”
“Kan Mahasiswa masanya seneng-seneng, nanti aja urus rakyat kalau udah kerja”
“ALSA mau digimanain lagi bro, udah susah diubah, gini-gini aja, dikit-dikit ganti ntar alumni marah”
People want progress, but no one wants change.
Perubahan memang beresiko, tapi itu resiko yang harus diambil. Di manapun kita hidup, harus berusaha beradaptasi dan berinovasi akan sesuatu juga mencoba hal-hal baru. Kita biasanya takut untuk berubah karena kita telah bertahun-tahun melihat pakem yang sama, sehingga tidak ada bayangan proyeksi kedepannya bagaimana apabila pakem tersebut diubah atau ditinggalkan.
Padahal, Ormawa adalah medium yang sempurna untuk mengasah teamwork dan decision making process dalam usaha mencari solusi dari masalah, baik itu masalah internal maupun eksternal. Ketidaksempurnaan adalah keniscayaan, kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik dengan mempelajari kekurangan dan kesalahan langkah kita.
It’s a quest of trial and error.
Tentu budaya dan sejarah itu penting, namun bukan berarti harus jadi penghalang untuk berevolusi dan maju. Kita akan tahu mana budaya yang perlu kita pertahankan setelah kita memahami esensi hal tersebut dan mengukur relevansinya di zaman masing-masing. Di sisi lain, apabila kta menghadapi budaya yang membingungkan karena tidak tahu asal muasal serta esensinya, bisa saja budaya yang ada malah menghancurkan. Kita harus berani untuk membahas status quo tersebut, cari pencerahan dan penjelasan dari budaya terkait.
Saling belajar dan berkolaborasi dengan Ormawa lain
Saya ingat bagaimana sebelum mendaftar menjadi pelayan ALSA Indonesia, hal yang saya lakukan pertama kali adalah melakukan transfer knowledge dengan anggota CIMSA Nasional, ELSA, AIESEC, dan StudentsxCEOs. Kami bertukar informasi mengenai tata kelola organisasi, bentuk kepemimpinan, dan situasi kondisi (ormawa yang sama-sama lintas universitas) secara umum.
Setelah berdiskusi beberapa kali, saya sangat kagum karena diskusi-diskusi tersebut berhasil membuka perspektif saya akan banyaknya variabel bagaimana Ormawa dapat dijalankan, banyak poin-poin yang bisa kita contoh yang bahkan tidak terpikirkan sebelumnya di ALSA. ALSA sangatlah terbelakang. Tak pelak, saya pun berusaha untuk mengaplikasikan hal positif yang didapat, lalu mengkalibrasikannya kedalam kultur ALSA Indonesia–meski terbatas dalam tupoksi yang saya punya.
ALSA harus senantiasa membuat dirinya relevan dengan zaman.
ALSA tentu punya banyak kelebihan, namun bukan berarti tanpa kekurangan. Malahan, ada indikasi bahwa kita terlalu mengglorifikasikan kelebihannya sehingga tidak paham akan kekurangannya. Ini fatal karena kita merasa ALSA adalah Ormawa paling baik, sehingga menutup mata akan realita yang ada. Layaknya Blackberry yang merasa dirinya yang terbaik — sampai akhirnya diinjak dan ditinggal jauh oleh iOS dan Android, jangan sampai kita menunggu sampai ALSA menjadi Ormawa yang ditinggal karena gagal memantaskan diri dengan zaman.
Tekanan tersebut tentu mulai (atau sudah) dirasakan di beberapa Local Chapter, mulai dari konsep yang “itu-itu” saja yang mulai kehilangan traction, perubahan drastis pola pikir Mahasiswa baru — mengakibatkan “seleksi alam” yang tinggi setelah beberapa bulan menjadi member, sampai dengan konflik keberlanjutan dengan fakultas atau Ormawa lain intra fakultas. Karenanya, ALSA harus senantiasa melakukan refleksi diri juga berkembang bersama keadaan, kita tidak bisa cuma menyalahkan orang lain atau karena selalu terpatok pada organizational culture yang sama bertahun-tahun. Bisa saja kesalahan maupun kemunduran terjadi karena kita sendiri.
We have to find new balance in the era of disruption and generational transition.
4. Let’s make change
Namun sebelum kita berubah, ada baiknya kita paham dan mempelajari dulu, sebenarnya goals ALSA itu apa sih? setiap orang biasanya punya pandangan yang berbeda. Setiap angkatan, setiap orang, biasanya punya fantasi dan bayangan masing-masing tentang apa tujuan dari ALSA.
Seperti yang sudah saya singgung diatas, ALSA Indonesia tidak punya goal jangka menengah maupun panjang yang ingin diraih. Memang ada yang mengatakan bahwa ini hal yang positif, karena goals ALSA (baik di National Chapter maupun di Local Chapter) dapat di-mold sesuai kebutuhan dan situasi yang ada tiap tahun. Tapi setelah berproses cukup lama di ALSA, menurut pemahaman saya ada baiknya ALSA mencoba untuk mengubah approach tersebut karena kita tentu tetap bisa menyesuaikan relevansi ALSA dengan keadaan, namun juga dapat memiliki target goals jangka menengah/jauh.
Mulai menggagas perubahan, one at a time
- Mengkaji ulang beban tugas pokok dan fungsi setiap jabatan di pos masing-masing (terutama di level Nasional), apakah beban kerja yang diberikan sudah realistis atau manusiawi? Perlukah kita mengubah struktur kepengurusan maupun sistem administrasi National Board?
- Mulai berdiskusi santai dengan Ormawa yang cukup apple to apple dengan ALSA. Saling belajar satu sama lain dapat membuka perspektif kita tentang bagaimana Ormawa ideal itu seharusnya. Resapi dan pahami perbedaan kulturnya, tata kelolanya, situasi-kondisi (masalah-masalah) nya, sampai detil teknis-teknisnya. Dengan demikian, kita juga lebih bisa mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan ALSA (baik NB dan LC) dengan membandingkan dengan Ormawa lain, bisa kita adopsi dan inkorporasi pula hal-hal positifnya.
- Setiap diadakan Seminar maupun Workshop hukum (baik di Nasional maupun Lokal), outputnya bisa dimanfaatkan lebih lanjut, e.g. dipublikasikan untuk umum (menggandeng media partner, diupload streaming video), dibuat rekomendasi atau policy brief lalu diberikan ke instansi terkait, etc — sehingga dapat bermanfaat untuk umum, memberi potensi impact yang nyata serta menaikkan eksistensi ALSA.
- Rasionalisasi jumlah Program Kerja. Program kerja yang banyak tidak menjamin impact dan output yang berkualitas. Fokuskan pada kualitas daripada kuantitas. SDM di Nasional serta Lokal juga terbatas, sehingga pekerjaan yang amat banyak biasanya berbuntut internal stressing terhadap member dan kepengurusan. Lagipula, ALSA adalah Ormawa yang berbasis Hukum, maka, setidaknya Program Kerja yang ditawarkan sebagian besar senantiasa harus memiliki value hukum.
- Menggandeng strategic partners yang bisa membantu menjalankan Program Kerja (e.g. Hukumonline, Kemenkumham, KPK), tentu hal tersebut tidak instan dan perlu pendekatan berkelanjutan, namun sangat memungkinkan. Dengan partner pihak ketiga yang besar, dampak positifnya akan sangat terasa untuk ALSA.
- Melakukan reformasi sistem untuk mengefisiensikan pengeluaran, jangan sampai prestise mengalahkan substansi acara. Penyelenggara acara nasional amat sering mengalami kerugian lalu akhirnya tersandung masalah di fakultas / universitas dikarenakan masalah ini.
- Membangun jaringan alumni yang produktif di level Lokal maupun Nasional, ormawa lain bisa cepat berkembang karena interpersonal communication dan networking yang baik dengan alumninya (e.g. menggandeng pihak ketiga via alumni yang bekerja di suatu perusahaaan atau pemerintahan) sehingga terbangun keuntungan mutual yang sehat. Tidak sekadar menjadi medium untuk pencarian modal.
- Dan lain-lain.
Penutup
ALSA is one fantastic Organization, mustahil saya bisa mengkuantifikasi keuntungan yang telah didapatkan selama berproses disini. Segala pengalaman dan asam garam, pertemanan lintas universitas dan negara, networking yang luas dan berkeliling Indonesia — adalah hal-hal yang tidak pernah terpikirkan selama menjadi mahasiswa.
ALSA is a great home to find and hone your better self. However as great as it is, a home will not be better and sustainable if we refuse to acknowledge the need to perpetually renovate and expand.
Tentu apa yang saya ketik disini tidak mewakili suara-suara dan perspektif lain, lebih dari itu, saya bukan orang yang mahatahu dan mahabenar serta tidak lebih baik dari demisioner maupun alumni ALSA Indonesia yang lain. Tapi, yuk, saling terbuka dan berdiskusi.
Salam.
Alumni biasa.
***
Note: Bagian kedua atau kelanjutan entri ini bisa diakses disini