Asian Law Students’ Association (ALSA) Indonesia: A Definite Work in Progress

Bagir
19 min readAug 24, 2020

--

Entri ini merupakan pembaruan dari artikel sebelumnya dengan judul ALSA Indonesia: Status Quo dan Potensinya Yang Belum Dioptimalkan, dikembangkan dengan melakukan observasi subjektif akan proses yang terjadi sejak artikel pertama dibuat — hingga Juli 2020.

Sekali lagi, Ini adalah opini pribadi terhadap ALSA Indonesia secara umum, termasuk berbagai entitas dan elemen yang ada didalamnya. Apa yang saya ketik tidak bermaksud untuk mendiskreditkan siapapun.

1. Merancang dan Mengesahkan Rencana Strategis

Wacana bahwa ALSA Indonesia memerlukan cetak biru pengembangan (Strategic Plan) seperti RPJM sebenarnya sudah lama ada, tapi tak kunjung terealisasikan.

Belum adanya tekad kolektif untuk memulai, entitas-entitas yang masih berpikir hanya untuk dirinya sendiri, serta tidak terbangunnya diskursus yang konsisten menyebabkan mimpi tersebut bertahun-tahun hanya sebatas angan.

Absennya gambaran jelas kedepan mengakibatkan vision organisasi yang sangat kontras berbeda; tiap entitas, tiap angkatan, tiap orang — punya fantasi dan pandangan masing-masing tentang apa itu ALSA dan bagaimana seharusnya ia bekerja.

Akhirnya, bertahun-tahun ALSA Indonesia berjalan tanpa punya benang merah yang menyelaraskan semuanya. Padahal, tidak semua pengembangan bisa optimal dilakukan secara mandiri. Tidak semua permasalahan sistematis bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Pun mustahil menciptakan pengembangan yang konsisten dan berkelanjutan saat hanya mengandalkan visi President terpilih ataupun Director masing-masing yang terus silih berganti.

Meski kelihatannya tidak bermasalah, konsekuensinya jelas terlihat saat diobservasi lebih dalam dan menyeluruh: Setiap entitas di ALSA Indonesia berkembang dengan kecepatan dan arah yang amat berbeda-beda. Kualitas program dan kepengurusan yang naik-turun. Prioritas antar angkatan yang berubah-ubah. Ketimpangan antar entitas yang makin terlihat. Apa yang sudah maju terkadang tidak dilanjutkan — apa yang belum maju tidak kunjung diperhatikan.

ALSA Indonesia belum punya situational awareness yang objektif dan adil dalam menilai situasi kondisi dirinya. Pun belum punya directional compass yang jelas posisinya sekarang ada dimana, dan ia harus pergi kemana.

Sangat sulit bagi ALSA Indonesia untuk bisa melakukan pengembangan berkelanjutan.

Dari tahun ke tahun, banyak figur telah menyerukan pentingnya meleburkan ketimpangan dan menyelaraskan prioritas dalam tubuh ALSA Indonesia, namun gayung tak kunjung bersambut.

Padahal, ajakan meleburkan ketimpangan bukan berarti National Board (“NB”) atau Local Chapter (“LC”) harus mengerem pengembangannya, tapi untuk saling memahami dan mendorong pihak lain untuk bisa mencapai level yang sama. Menyelaraskan prioritas bukan berarti NB dan LC atau antar LC harus memiliki program yang sama persis, namun harus memiliki common goals yang bisa dicapai dengan pendekatan berbeda-beda; dengan caranya masing-masing.

Dalam transisi kepengurusan tahun ini, akhirnya ALSA Indonesia punya versi cetak biru pengembangannya sendiri: Rencana Strategis (“Renstra”).

6 Prioritas Rencana Strategis ALSA Indonesia

Sebuah Pencapaian Langka

Bagi yang pernah mengikuti forum ALSA seperti Musyawarah Lokal (“Muslok”), anda mungkin paham bahwa dalam Muslok, sekedar mengubah agenda sidang saja rasanya amat berat dan sulit— apalagi menginisasi gerakan yang ‘memaksa’ semua entitasnya senasional untuk sepakat akan satu tujuan?

Yes, but sometimes a disruption is needed to accelerate innovation.

Dimulainya proses drafting dan disahkannya Renstra dengan sendirinya sebuah capaian langka yang cukup monumental. Siapa sangka, 14 LC bersama NB dapat bekerjasama dan bersepakat menentukan common objectives for greater good?

Proses pembuatan dan pelaksanaan Renstra jelas tidak mudah; perlu keberanian dari pemimpin dan pengurus ALSA untuk keluar dari zona nyaman.

Pihak-pihak yang seringkali berseberangan ini harus berkonsolidasi — berkompromi ego, belajar berempati, memahami situasi kondisi LC lain serta ALSA Indonesia keseluruhan demi mencapai resolusi kolektif. Mengkaji secara kritis penyelarasan prioritas dan penentuan arah pengembangan. Mengeset target yang progresif namun tetap realistis untuk dieksekusi bersama-sama dalam 3 tahun kedepan.

Bisa dibilang Renstra adalah manifestasi Bhinneka Tunggal Ika; pengingat bahwa organisasi besar ini tidak dibangun hanya untuk dijalankan sendiri-sendiri.

Tentu disahkannya Renstra bukanlah akhir, namun baru sebuah awal. Perlu mindset bahwa eksisnya Renstra bukan sebagai beban, tetapi sebagai pedoman yang memberikan gambaran dan jalan ideal untuk pengembangan LC dan NB. Perlu komitmen berkelanjutan dari setiap pihak, dan persiapan dokumen penunjang lain untuk memastikan kesuksesan Renstra. Dua-tiga tahun kedepanlah yang akan membuktikan prosesnya.

Perbaikan Check & Balance

Di entri sebelumnya, saya berargumen bahwa metode monitoring dan evaluasi di ALSA Indonesia masih belum efisien: Penuh ketertutupan, gengsi, dan manipulasi informasi. Rentan perbedaan persepsi, politisasi, juga baper antar pribadi. Kebanyakan sekedar small talk tanpa paham urgensi dan data, belum lagi kalau bicara biaya-biaya visitasinya.

Renstra dapat menjadi antitesa atau setidaknya meminimalisir problema diatas. Ia berperan sebagai pointers yang konkret dan objektif bagi NB melakukan check & balance pada LC — begitupun sebaliknya — toh isinya memang dirancang dan disepakati bersama, sehingga proses monitoring dan evaluasi lebih efisien dan transparan.

Renstra juga by design berperan menambah titik singgung bagi NB dan LC — juga antar LC — untuk bisa lebih berinteraksi dengan sehat: lebih terbuka, lebih sering, juga lebih berbobot, dengan tetap menghormati otonomi masing-masing.

2. Memprioritaskan Pengembangan Akademik

Sebagai organisasi bernama Asian Law Students’ Association, siapa sangka mayoritas kegiatannya justru sedikit — bahkan tidak ada hubungannya dengan bidang hukum?

Berdasarkan analisis data hasil kepengurusan tahun ini dan tahun sebelumnya, rerata program kerja ALSA yang berkaitan dengan hukum di tingkat LC bahkan tidak sampai sepertiganya.

Lebih lagi, seberapa banyak anggota yang merasa benar-benar mendapat ilmu hukum karena ikut ALSA? meski tidak dibackup dengan data, kemungkinan besar jawabannya akan sangat sedikit.

Jadi, apakah ALSA organisasi yang mengalami existensial crisis? bisa jadi. Does it live up to its name & objectives? saya rasa masih belum.

Geliat Pengembangan Sektor Hukum

Selama ini, sektor akademik dan edukasi hukum dalam ALSA masih sekedar pilihan, bukan keharusan. Padahal, ini bidang yang sudah seharusnya digeluti by default, urgensi dan potensi manfaatnya juga terbuka amat lebar.

Tidak semua mahasiswa punya kesempatan ikut kompetisi hukum, koneksi untuk mendapat tempat magang, maupun bergabung dalam tim riset. Begitupun untuk masyarakat umum — tidak semua orang punya akses informasi yang diandalkan, maupun bantuan hukum yang terjangkau.

Salah satu ilustrasinya adalah program ALSA Indonesia Internship Program (“AIIP”). Program pilot yang baru diputuskan ditengah kepengurusan ini muncul pada 2017 — dan pada tahun pertama pelaksanaannya, ia baru bisa memberikan kesempatan satu anggotanya untuk magang.

Ternyata, AIIP terus berkembang pesat menjadi signature program yang meningkat dari segi partisipasi maupun jumlah institusi. Sayap kerja samanya melebar mulai dari lembaga profesional, pemerintah, sampai LSM. AIIP menjadi sebuah program accidental, yet well-deserved legacy.

We need to have that and some more. Program yang menambah keuntungan menjadi anggota ALSA, yang juga membuat ALSA menjadi lebih relevan dimata publik. Program yang mendefinisikan reason for being, namun juga yang hanya bisa didapat di ALSA — yang lain daripada yang lain.

Statistik peserta dan partners AIIP dalam 3 tahun terakhir

Selain program akademik yang sudah lebih established seperti AILRC, AILTW, AILJ, dan AILO — program akademik lain pun silih bermunculan seperti ALSA Indonesia Academic Project Competition (APC) yang ditujukan untuk meningkatkan kreativitas akademik setiap LC. Lalu ALSA Indonesia Community Research (AICR) yang bertujuan untuk menyelesaikan isu hukum nyata dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah. Dan yang terbaru yaitu ALSA Indonesia Specialized Research Team (AISRT) yang menggandeng research partner ICJR sampai WALHI.

Tentu berbagai upaya program-program akademik diatas perlu senantiasa dikembangkan, didaur ulang, dimatangkan dari segi konsep dan eksekusi agar kualitas dan partisipasinya makin meningkat.

Di tingkat LC, mulai adanya program magang dan kompetisi hukum, serta semakin banyaknya frekuensi seminar dan workshop hukum telah mengeset benchmark baru dalam sektor akademik, yang perlu direplikasi dan dimatangkan untuk semakin mempertegas keuntungan-keuntungan seorang ALSAians maupun pihak luar yang memanfaatkan medium ALSA.

Realisasi-realisasi program diatas menunjukkan ALSA bisa menjadi intermediary yang berkualitas dalam memfasilitasi edukasi dan advokasi hukum, baik untuk anggotanya sendiri, maupun untuk umum. Geliat ALSA untuk lebih memprioritaskan sektor akademik sudah makin terlihat, namun masih tersedia banyak ruang untuk peningkatan dan penyempurnaan, sampai akhirnya bisa mencapai ideal yang diimpikan.

Meningkatkan Akses Informasi dan Advokasi

Dengan makin maraknya misinformasi dan disinformasi hukum, kurangnya wawasan atas RUU-RUU bermasalah dan yang tidak kunjung disahkan, statement pejabat publik yang kontradiktif, polarisasi politik yang terus membelah rakyat, hingga kicauan buzzer dan selebritis yang cacat logika — sangat diperlukan kehadiran katalis yang mampu mencerahkan.

Ini adalah momentum bagi unsur mahasiswa untuk turut mengisi gap tersebut, dan ALSA adalah medium yang amat baik untuk menjadi educational dealer.

Infografik ciamik, trivia hukum yang mudah dicerna, publikasi tulisan hukum yang aksesibel, podcast dan video yang padat ilmu, sampai legal assistance yang membantu masyarakat awam. Segala bentuk praktik advokasi dan diseminasi informasi diatas adalah modal yang sudah dipunyai banyak entitas di ALSA, yang perlu makin dimatangkan dan dimasifkan untuk turut meningkatkan direct dan indirect impact ALSA didalam masyarakat.

Kerja Sama Sebagai Kunci

Untuk meningkatkan kualitas program dan dampak organisasional — terutama di bidang akademik, ALSA jelas tidak bisa semata-mata berjalan sendiri, ada banyak keahlian dan wawasan yang belum dimiliki secara internal. Maka, membangun kerja sama dengan pihak ketiga adalah faktor instrumental untuk memastikan ALSA dapat memberikannya dengan optimal.

Kerja sama bisa dilakukan dengan berbagai bentuk dan pihak — mulai dengan Organisasi Mahasiswa, Institusi (Pemerintah, Non-Pemerintah, atau institusi hukum lainnya), maupun dengan alumni-alumninya. Idealnya, kerja sama yang telah terbangun diestafetkan pada tahun selanjutnya, sekaligus mengembangkan jaringan kerja sama dengan bidang atau pihak yang belum terjamah.

Manfaat kerja sama pun tidak hanya sebatas pelaksanaan program akademik — tapi juga bisa untuk benchmarking atau studi banding, funding, pemahaman sejarah dan teknis organisasi, sekaligus menjadi medium peningkatan relevensi dan asosiasi ALSA dengan dunia profesional. Kerja sama dapat pula meningkatkan bargaining power juga soft power organisasi dimata prospective partners, pihak kampus, maupun publik.

Di sisi lain, konsekuensi bekerja sama berarti ALSA juga harus mampu menjadi partner yang baik, memastikan semua berjalan dengan mutalisme dan lancar. Pengurus harus senantiasa belajar dari kekurangan serta saran masukan dari peserta maupun partners, karena kepercayaan dan profesionalitas ALSA juga akan diuji.

3. Modernisasi Sistem Keorganisasian

Digitized. Paperless. Plasticless.

Dimulai dari tahun lalu, mayoritas produk keluaran NB berbentuk fisik kertas seperti berkas, majalah, dan LPJ tidak lagi dicetak, terkecuali dokumen tertentu yang ditujukan pada partners.

Meski produk cetak bisa disentuh, dirasakan, dan terlihat kerenseringkali ia hanya teronggok di sekretariat, tersimpan di laci sampai berdebu, hilang begitu saja — bahkan ada yang tidak dibawa pulang dari venue setelah dibagikan. Nilai dan durasi kegunaannya amat sedikit. Di era 4.0. (ewh, I know) ini, membangun organisasi dengan tata kelola serta infrastuktur digital adalah sebuah keharusan.

Dengan biaya pencetakan yang (makin) mahal dan daya guna yang jauh dari optimal, tentu dokumen ini lebih baik berbentuk digital: bebas biaya, selalu ada, dapat disimpan, diakses, dibagi kapan saja.

Inisiatif digitalisasi pun mudah diimplementasikan pada dokumen-dokumen lain: sertifikat dan materi berbentuk softcopy, pengisian presensi acara dengan Google Form atau Excel, dan lain sebagainya — terlepas dari program tersebut dilaksanakan secara daring maupun tidak.

Berbagai informasi terkait kegiatan organisasi, registrasi acara, sampai dokumen-dokumen diataspun sebenarnya sangat bisa diintegrasikan dengan website sehingga keberadaannya makin optimal dan bermanfaat. Terlebih, konversi-konversi ini akan sangat memudahkan perekaman serta administrasi data nantinya.

Komitmen pengurangan plastik sekali pakai yang disepakati di Seminar & Workshop Nasional (Semworknas) UI 2019 juga menciptakan momentum yang perlu dibudayakan dan dikembangkan dalam kegiatan organisasi sehari-hari. Bibit proses komitmen ini sudah mulai terlihat dari penggunaan tumbler oleh peserta, tersedianya dispenser dalam Acara Nasional, serta pengurangan suvenir cetak dalam goodiebags.

Meski berbagai upaya modernisasi ini masih dalam tahap awal, setidaknya ini jelas menandakan ada usaha dari ALSA meningkatkan kesadaran sumberdayanya untuk belajar menjadi bagian dari masyarakat dunia yang lebih baik: mengurangi dampak lingkungan, sadar akan pengeluaran, serta melek teknologi.

Organisasi Berbasis Data & Riset

Sebagai ormawa yang berumur 30 tahun lebih, tentu ALSA dapat berbangga dengan statusnya yang kaya sejarah dan skalanya yang besar. Di sisi lain, status demikian juga berarti makin sulit untuk benar-benar memahami akar sejarahnya serta memantau skala perkembangannya.

Masa lalu eksis tidak hanya untuk dikenang, tapi juga untuk dipahami dan dipelajari. Hal ini perlu supaya orang-orang didalamnya tidak terjebak — atau menjebak dirinya sendiri dengan wawasan yang terbatas dalam generasi atau circlenya masing-masing. Penalaran masa depan harus dipersenjatai literasi sejarah yang mumpuni — dan rekaman-rekaman masa lalu itu senantiasa hadir dalam data; bisa berbentuk dokumen, artikel, buku, daftar, spreadsheet, laporan, testimoni, medium apapun yang menyimpan informasi.

Untuk bisa membangun ormawa berbasis data, tentu kita perlu data-datanya dulu. Sayang, ALSA masih jauh dari ideal dalam urusan literasi dan administrasi data — karena ia seringkali diabaikan atau hilang begitu saja. Kalaupun ada, seringkali tidak lengkap atau tidak akurat, atau masih berbentuk fisik sehingga sulit dikonversikan. Padahal, koleksi data yang mumpuni dapat memberikan banyak keuntungan.

5 tahap organisasi dalam memahami data. Image courtesy of Smartsheets

Hal ini melatarbelakangi perlunya pusat data (data center) dalam setiap entitas di ALSA, berisi seluruh informasi yang berkaitan serta melekat dengan dirinya. Harapannya, pusat data dapat menghadirkan helicopter view bagi pengurus supaya dapat memantau situasi kondisi organisasi secara berdasar dan objektif.

Perlu dipahami bahwa perwujudan organisasi berbasis data dan riset bukan berarti sekedar melemparkan semua dokumen ke dalam aplikasi seperti Dropbox atau Drive, tapi juga berarti melakukan administrasi seluruh datanya dengan perencanaan dan penuh kesadaran akan potensi kebermanfaatannya, lalu menganalisis data-datanya baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Dengan data, pemimpin dan pengurus dapat mengambil keputusan yang lebih matang. Membuat kebijakan dan program yang lebih tepat sasaran. Mendapat evaluasi yang lebih transparan dan objektif.

Ia mendorong sumberdayanya untuk melakukan pertimbangan, pengembangan, dan pengambilan keputusan berbasis fakta dan data (fact and data-driven decision and policies) — sehingga keputusan yang diambil lebih kalkulatif dan memiliki dasar yang kuat. Harapannya, keputusan tidak lagi diambil semata-mata karena idealisme pribadi, hasil kontestasi politik, karena dianggap populer, atau karena budayanya yang sudah demikian.

Challenge the Status Quo

Meski terjadi regenerasi setiap tahun, relatif sulit bagi pemimpin dan pengurus ALSA untuk melakukan perubahan, terutama di tingkat LC yang lebih ‘turun-temurun’. Seringkali pengurus baru harus berhadapan dengan sistem atau budaya yang de facto ‘disakralkan’, keadaan fait accompli.

Konsekuensinya, sumberdayanya terbiasa mengikuti sistem dan budaya tanpa benar-benar paham histori, esensi, dan tujuannya. Tidak selalu tahu rasionalisasi dibalik prosedur dan peraturan, namun harus dipatuhi tanpa benar-benar dimengerti. Sekalinya dipertanyakan, tidak jarang dijawab dengan “nggak tau ya” atau “karena sudah begitu dari dulu”.

Jadi, apa individunya sudah benar-benar menghidupi nilai dan tradisi dengan pemahaman yang tepat? Why some things are as it is? probably you don’t know — and may never know.

Perspektif yang saklek dan kelewat biner seringkali menghanguskan berbagai pemikiran maupun terobosan brilian. Setiap perubahan menjadi langkah yang riskan bukan karena takut gagal, tapi takut kecaman dan hujatan dari sesama maupun sekitar — yang seringkali minim apresiasi namun penuh evaluasi. Akhirnya kepengurusan lebih baik “main aman” daripada mencoba melakukan dobrakan. Lebih mementingkan “penerimaan” di akhir kepengurusan — mereduksi makna proses, eksperimen, dan pengalaman.

Tidak sedikit pula alumni atau demisioner yang lebih senang nyinyir daripada membimbing, yang membanding-bandingkan daripada memberi solusi. Pengurus yang tidak dibekali kemampuan manajerial matang, karena transisi kepengurusan yang berantakan serta transfer knowledge yang tidak blak-blakan. Anggota yang hanya disuruh manut dan dituntut untuk terus-terusan bekerja, tanpa benar-benar dididik dan diberi contoh baik.

Kombinasi faktor diatas menciptakan lingkungan yang didasari banyak ketidaktahuan, ketakutan akan perubahan, juga diskoneksi dan friksi antar angkatan. Akhirnya menghasilkan organisasi yang krisis identitas dan sulit berkembang. Tidak paham asal muasal — juga tidak bisa kemana-mana, terus berputar-putar seperti lingkaran setan.

Inginnya begini (kiri), tapi jadinya begini (kanan). Image courtesy of mas Ilham Muzakki

Organisasi adalah tempat berkembang. Ia memberikan kesempatan untuk belajar dari kesalahan, memahami kegagalan, merasakan kekecewaan.

Saat antar generasinya terus menerus mengulang langkah dan kesalahan yang sama — namun waktu dan zaman terus maju, bukankah itu sebuah kemunduran? Saat pengurus baru tidak diperbolehkan membuat kesalahan baru karena mengambil risiko dan langkah baru, apa individu dan organisasinya sudah sebenar-benarnya belajar dan berkembang?

4. Ekspansi Struktur Kepengurusan NB

Sejak kepengurusan tahun sebelumnya, terjadi ekspansi struktur secara signifikan dalam NB dengan target sampai dengan 15 pengurus. Memang banyak alumni NB yang turut mengamini bahwa beban kerja, mental, dan finansial NB borderline tidak masuk akal — dan saya memang devil’s advocate bahwa menambah SDM dalam tubuh NB adalah keniscayaan.

Namun, inisiatif ini tetaplah eksperimen yang riskan, cenderung tidak populer:

Pertama, keinginan dan keadaan tiap LC mengirimkan perwakilan NB sangat fluktuatif setiap tahunnya. Hal ini juga amat dipengaruhi iklim politik internal-eksternalnya, serta seberapa ketat proses fit & proper test-nya.

Kedua, saat struktur NB masih berjumlah satuan pun, kemungkinan NB memulai kepengurusan dengan pos atau jabatan kosong masih tinggi. Ada indikasi insentif menjadi NB (atau juga IB dalam konteks ini) memang rendah atau tidak cukup menarik. Premisnya tidak sebanding, cost-benefit ratio-nya kurang masuk akal.

Ketiga, skeptisisme publik jelas akan menghantui karena ini mendobrak pakem yang sudah lama ada. Terlebih, urgensi ini memang sulit dipahami terutama saat dilihat dari perspektif luar NB; karena budayanya terlanjur mengkultuskan bahwa menjadi NB berarti harus otomatis menerima segala risiko dan kesengsaraannya belum lagi tingginya confirmation bias yang cenderung mendaifkan tata kelola serta beban kerja NB.

Dengan berbagai risiko diatas, ide mengekspansi struktur kepengurusan jutru terdengar kontradiktif (oxymoron) dengan permasalahan yang ada.

But on the grand scheme of things, it’s a definite step toward the right direction.

Langkah yang Manusiawi

Struktur NB yang bertingkat mengubah pola kerja yang sangat dasar jadi lebih manajerial. Fungsi setiap jabatan jadi lebih terfokus dan spesifik, memecah beban kerja yang dulu harus dipaksakan hanya oleh satu atau dua orang.

Sekarang, setiap pos bisa mengeksekusi beban kerja lebih banyak, administrasi kerja lebih rapi, juga durasi pengerjaan yang lebih cepat — selama orang dan pembagian kerjanya tepat. Peningkatan jumlah ini efektif mengentaskan bottlenecking yang selalu mengekang struktur NB sebelumnya, serta membuka ruang untuk menambah fungsi yang lebih mutakhir dan mengeset goals baru untuk dicapai.

Beban keuangan antar NB pun lebih ringan selama pembagiannya efisien. Dengan anggota yang lebih banyak, distribusi mobilisasi NB untuk pelaksanaan program, partisipasi acara internasional, serta visitasi bisa jauh lebih fleksibel dan merata. Menurunkan standar finansial yang selama ini sering menjadi masalah utama bagi bakal calon NB, bahkan NB yang sedang menjabat sekalipun.

Selain itu, jumlah yang lebih banyak juga berpotensi meningkatkan representasi LC dalam NB, sehingga anggotanya bisa lebih terdiversifikasi. Aksesibilitas menjadi NB pun jadi lebih mudah dan akomodatif: Opsi jabatan lebih variatif — sementara beban finansial, beban kerja, dan beban mentalnya relatif lebih manusiawi.

Representasi & jumlah pengurus NB 5 tahun terakhir

Tentu masih banyak trial & error yang harus diperbaiki, potensi pengembangan yang perlu dieksplorasi, contoh lain yang bisa dipelajari. Namun, kalau risiko itu tidak diambil, apakah NB sampai sekarang masih tetap bertahan dengan jumlah single-digit? bisa jadi. Lalu apa beban kerja, mental, serta pengeluaran NB masih akan tetap luar biasa tinggi? tentu saja.

Maybe sometimes it’s riskier not to take a risk. Sometimes all you’re guaranteeing is that things will stay the same. Begitu imbuh aktor Danny Wallace.

5. Memperbaiki Kapasitas Finansial

Dilihat dari kacamata keuangan, ALSA Indonesia baik di tingkat NB dan LC seringkali beroperasi dalam permakluman peribahasa besar pasak daripada tiang. Defisit program dianggap lumrah, patungan sudah aktivitas keseharian, menutup-nutupi laporan keuangan adalah kewajaran.

Penyelenggaraan Acara Nasional dapat menelan ratusan juta.
Pengeluaran kolektif NB selama satu tahun bisa tembus setengah miliar.

Kalau hanya melihat angka diatas, rasanya organisasi ini luar biasa ajaib dan fantastis; keren dan begitu bergelimang uang. Tapi, apa anda yakin dibalik semua angka-angka itu — tidak dibayar dengan pengorbanan, konflik bekerpanjangan, dan sedikit banyak smoke and mirrors?

Rata-rata Pengeluaran acara nasional ALSA Indonesia 2017–2019

Menyadari Realita Keuangan

Berdasarkan data acara nasional 2017–2019, 33% tuan rumah acara nasional menderita defisit — ada yang sampai puluhan juta. Dari 2016–2019, 4 NB terpaksa dipecat atau mengundurkan diri karena permasalahan finansial.

We always need to push the boundaries, but we should never spend beyond the means.

Menjadi ‘pejabat’ ALSA tingkat lokal, nasional atau internasional—seringkali berarti mengeluarkan dana pribadi yang tidak sedikit, untuk manfaat yang seringkali tidak terlalu banyak. Tidak jarang NB melakukan visitasi lebih karena enggan dievaluasi oleh LC yang merasa kurang dikunjungi tanpa metrik dan urgensi yang jelas. BoD dan pengurus yang segan untuk tidak membeli setiap jajanan dana usaha dan merchandise, karena takut dicap tidak membantu kepegurusannya. Dan masih banyak lagi ilustrasi-ilustrasi lainnya.

Begitupun saat menjadi panitia dalam program-program besarnya.

Masih banyak kepanitiaan masih lebih memprioritaskan hal-hal non-esensial daripada yang esensial dan teknikal, seperti mewahnya seremonial dan megahnya ruangan — sehingga budget makin membludak tapi value acaranya tidak meningkat. Lebih sering berdebat kemana uangnya harus keluar ketimbang bagaimana cara uangnya bisa masuk. Inginnya overdeliver dalam estetika, namun akhirnya underdeliver dalam substansi dan pelaksanaan acara.

Di sisi lain, (terutama di Acara Nasional) aspek ini makin ruwet karena peserta ingin akomodasi dan transportasi supernyaman dengan biaya registrasi yang hanya sedemikian. Ada pula yang lebih mementingkan mengevaluasi menu konsumsi tapi tidak dengan bobot materi. Yang all-out saat party namun tidur saat agenda substansi. Yang ingin diurusi dan difasilitasi, tapi gagal untuk saling menghormati dan menghargai.

Tidak adanya standarisasi atau pedoman menyebabkan prioritas dan parameter penilaian acara tidak jelas, seringkali gagal fokus, sehingga evaluasi sering melebar dan memakan waktu ke hal-hal yang kurang esensial pula.

Masalah Berbentuk Lembaran

Ini adalah gajah dalam ruangan — realita yang hampir tidak pernah dipertanyakan. Padahal faktor keuangan tidak jarang menimbulkan permasalahan serius dengan pihak ketiga, tingkat fakultas, bahkan universitas.

Faktor keuangan juga tidak jarang menjadi dinding yang membatasi akses anggotanya untuk bisa mengikuti atau berkontribusi lebih lanjut di ALSA. Jadi, tidak aneh apabila faktor financially privileged turut andil dalam menentukan karir dan pengalaman berALSA, yang akhirnya semakin memperkuat impresi ALSA sebagai organisasi eksklusif.

Perlu adanya reset pemahaman serta konsep manajemen keuangan di ALSA. Perlu juga kontrol dan monitor pertanggungjawaban keuangan yang ketat — serta standar pelaksanaan acara besar yang tidak sekadar berbasis materialistis namun berbasis teknis dan substantif, seperti di International Events Guideline & Finance Policy di ALSA International.

Tentu perbaikan sistem keuangan adalah hal yang rumit juga sensitif, dan berbicara keuangan tidak pernah menyenangkan, apalagi mencari solusinya. Setidaknya hal ini bisa dimulai dengan menyadari ini permasalahan nyata yang juga perlu mulai diperhatikan — dan diselesaikan.

6. Beradaptasi Dengan Situasi dan Kondisi

Pandemi yang menghantam dunia di awal 2020 menjadi ujian tidak diduga untuk semua pengurus dan anggota aktif ALSA. Hingga entri ini dibuat, kampus-kampus masih memberlakukan pembelajaran jarak jauh hingga ada instruksi lebih lanjut.

Dilihat sekilas, situasi ini jelas ‘merusak’ fundamental operasional organisasi: Mulai dari pola kerja, matrikulasi, pelaksanaan program, sampai segala pakem yang telah lama berjalan bertahun-tahun tiba-tiba berantakan, harus dikonstruksi ulang, menyesuaikan keadaan. Dampaknya pun mengubah lanskap sistem dan pengalaman berALSA di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional — bisa jadi secara permanen.

Belum lagi kalau berbicara dampak jangka panjang: Diperlukan solusi agar program yang tidak jadi dieksekusi atau ditunda tetap dapat tersalurkan tanpa kehilangan ekspertise dan esensinya. Diperlukan skema baru untuk melakukan proses transfer knowledge, regenerasi, dan transisi yang lancar. Diperlukan terobosan brilian untuk menggalang dana dengan berbagai potensi resesi dan tekanan ekonomi. Masih banyak lagi ‘skenario-skenario’ menyeramkan lainnya.

Namun, bukankah organisasi memang jalan bagi mahasiswa untuk melatih perencanaan dan pengambilan keputusan? mencari alternatif dan solusi atas permasalahan? membuka celah-celah kemungkinan dari setiap ketidakmungkinan?

Observasi Dua Sisi

Meski di satu sisi malapetaka, di sisi lain bisa jadi blessing in disguise.
Mungkin ini force majeure yang sedikit banyak menjadi pelatuk percepatan perubahan hal-hal yang dibahas diatas. Momentum yang ‘memaksa’ ALSA untuk belajar menyesuaikan dengan realitas; beradaptasi sekaligus berbenah diri, berinovasi.

Nyatanya dengan berbagai kemajuan teknologi, banyak aspek keorganisasian tetap bisa ‘berjalan’ secara digital — beberapa diantaranya mungkin cenderung lebih menguntungkan dari yang awalnya kita sadari.

Finding sense of discovery in the unknown. Making the uncomfortable, comfortable.

ALSA Indonesia Legal Discussion

Seminar dan diskusi hukum daring ternyata bisa lebih banyak menjaring audiens, narasumber yang lebih berkualitas, dan proses persiapan yang lebih cepat. Internet, gawai, dan aplikasi memberikan akses amat mudah dan biaya murah bagi semua pihak yang terlibat.

Produk akademik, informasi hukum serta organisasi, opini, majalah, bahkan bantuan hukum bisa diadvokasikan lebih luas via jejaring sosial dan website, tidak sekedar melalui media fisik yang distribusi informasinya sejak awal memang sangat terbatas. Saat persebaran informasi makin masif dan dilakukan secara optimal, potensi impact pun makin besar.

Merchandise New Normal Unpad

Dokumen-dokumen yang selama ini banyak tercecer, hilang, atau sulit direkap karena berbentuk cetak akhirnya menjadi digital, memaksa pengurusnya beradaptasi dengan cloud-based services, sekaligus mendorong untuk nirkertas serta lebih paham administrasi data.

Perubahan kebutuhan pasar mendorong metode dan ide fundraising yang lebih unik, kreatif, dan oportunis. Perubahan skema jual beli juga membuat pengurusnya sadar pentingnya memaksimalkan e-commerce untuk bisa mencari demand dan market baru yang seharusnya memang sudah menjadi standar.

Lebih lagi, siapa sangka Rapat Pimpinan Nasional (“Rapimnas”) 2020 UGM, acara nasional yang pertama kali diadakan secara daring, ternyata berlangung dengan lancar, tertib, efisien, dan — amat sangat hemat? Waktu persiapan ultra sempit ditambah beban finansial tinggi menjadi risiko ekstra yang harus selalu setengah hati diterima LC Presiden terpilih setiap tahunnya. Konsekuensinya jelas; meski modalnya paling rendah, bertahun-tahun Rapimnas menjadi salah satu acara nasional paling rentan defisit.

Tentu, tidak semua hal sesederhana “tinggal dibuat daring” bukan? Masih banyak tantangan yang perlu diselesaikan, terutama di tingkat LC. Bagaimana caranya antar anggota bisa tetap bonding, have fun, dan memiliki self-belonging? Bagaimana orang-orang tetap bisa menikmati dan memanfaatkan jaringan pertemanan ALSA yang luas? Bagaimana seleksi keanggotaan dan transisi kepengurusan tahun depan? Bagaimana menjalankan program yang memang didesain untuk keseruan euforia atau keharusan tatap muka?

Sekali lagi: Dinamika konflik dan manajemen krisis, pola pikir yang runtut dan logis — ini juga termasuk ujian apakah organisasi bisa tetap hidup dan bertahan, serta apakah individu-individu didalamnya bisa cepat beradaptasi dalam menyetir organisasi.

Lesson Learned

Virus memang tak kasat mata, namun ancaman dan dampaknya amat nyata. Sebagian harapan harus pupus terpenggal kenyataan, sebagian ambisi akhirnya terbatasi. Tapi dibalik berbagai tantangannya, tersimpan pula berbagai cercahan harapan.

ALSA dapat bertahan, berjalan — dan sangat mungkin membentuk inovasi dan kebiasaan baru meski harus berhadapan dengan kelaziman baru.

Yang penting adalah eksplorasi, bukan konklusi. — Goenawan Muhamad, budayawan.

Dengan eksplorasilah semua kemungkinan itu dibuka. Sesuatu yang final kadang mengerikan, karena saat itu, pemikiran manusia mandek dan menjadi batu. Demikian interpretasi ekonom Chatib Basri dari kutipan tersebut.

Mungkin ini kenyataan yang perlu dipahami; ALSA tidak bisa terus bersikeras membatasi—malah seringkali menyombongkan diri atas sucinya budaya dan kebiasaan, tebalnya birokrasi dan peraturan. Perubahan kebiasaan adalah keniscayaan atas perubahan zaman. Peraturan senantiasa diperbaharui, dikurang ataupun ditambah, menyesuaikan keadaan.

Pandemi memberikan waktu dan kesempatan bagi semua elemen dalam lingkar ALSA untuk belajar berhenti, berpikir, dan mengevaluasi tatanan berpikir serta tata kelola organisasi ini.

Menyaring sebenar-benarnya inti atau esensi dari setiap posisi, program, dan fungsi. Menggali kembali identitas dan nilai utama organisasi. Memecahkan permasalahan sistemik dan internal yang belum terselesaikan. Menanggalkan kebiasaan yang mungkin memang sudah tidak lagi relevan. Memahami bahwa jaringan bukan hanya untuk persaingan, namun juga untuk saling menguatkan dan berjalan bergandengan.

Dunia memang sedang cemas, namun kita tidak bisa terus muram. Momentum memang harus berubah, tapi masih banyak jalan mencapai kemajuan.

Sebaik-baiknya organisasi adalah mereka yang tetap relevan dengan perubahan zaman, namun tetap punya identitas yang kuat dan kebermanfaatan yang tinggi. Mereka yang mengentaskan permasalahan, bukan yang memeliharanya atau malah karam karenanya. Mereka yang agile — terus berbenah diri dan konsisten bereksplorasi, bukan yang dikurung dan difinalkan.

Langkah pertama untuk berhasil adalah mengakui kegagalan dan kesalahan sehingga kemudian bisa memperbaikinya, begitu kata ilmuwan Ainun Najib.

ALSA memang sedang menghadapi berbagi ujian, tapi secara bersamaan ia juga sedang berproses, sedang berkaca, sedang berubah untuk menjadi jauh lebih baik — selama ia paham cara merealisasikan jati dirinya, serta berani menjawab tantangan yang dirundunginya. Bukan memalingkan muka akan identitasnya, dan terus-terusan memutari lingkaran setan yang dibuatnya.

ALSA may never experience such level of hardship. But at the same time, they have never been this close to propel itself further — to achieve more greatness.

Salam.

Sekali lagi, entri ini dibuat dengan berbagai keterbatasan, tidak berarti sepenuhnya benar, serta tidak semerta-merta mewakili setiap suara maupun perspektif yang ada.

Terima kasih banyak kepada semua orang yang telah membantu memberi masukan dan menyempurnakan entri ini. You know who you are. :)

--

--